Kamis, 15 November 2012

ASAL USUL KABUPATEN WAJO


 



KABUPATEN WAJO
Kabupaten Wajo adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Sengkang. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.056,19 km² dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 400.000 jiwa.

Wajo berarti bayangan atau bayang bayang (wajo-wajo).Kata Wajo dipergunakan sebagai identitas masyarakat baru 605 tahun yang lalu yang merdeka dan berdaulat dari kerajaan-kerajaan besar pada saat itu. Bupati Wajo: A. Asmidin


Di bawah bayang-bayang (wajo-wajo=bugis)pohon bajo diadakan kontrak sosial antara rakyat dan pemimpin adat dan bersepakat membentuk kerajaan wajo Perjanjian itu diadakan di sebuah tempat yang bernama Tosora yang kemudian menjadi ibu kota kerajaan Wajo.

Ada versi lain tentang terbentuknya Wajo yaitu kisah We Tadampali seorang putri dari kerajaan Luwu yang diasingkan karena menderita penyakit kusta. beliau dihanyutkan hingga masuk daerah tosora. Daerah itu kemudian disebut majauleng berasal dari kata maja (jelek/sakit) oli'(kulit. Konon kabarnya beliau dijilati kerbau belang di tempat yang kemudian dikenal sebagai sakkoli (sakke'=pulih ; oli = kulit) sehingga beliau sembuh.

Saat beliau sembuh, beserta pengikutnya yang setia ia membangun masyarakat baru. Sehingga suatu saat datang seorang pangeran dari bone (ada juga yang mengatakan soppeng) yang beristirahat didekat perkampungan we tadampali. Singkat kata mereka kemudian menikah dan menurunkan raja-raja wajo Wajo adalah sebuah kerajaan yang tidak mengenal sistem to manurung sebagai mana kerajaan kerajaan di sulawesi selatan umumnya. Tipe kerajaan wajo bukanlah feodal murni tapi kerajaan elektif atau demokrasi terbatas.

Dalam sejarah perkembangan kerajaan wajo, wajo mengalami masa keemasan pada zaman La tadampare puang rimaggalatung Arung Matowa Wajo ke-6 pada abad 15. Islam diterima sebagai agama resmi pada tahun 1610 saat Arung Matowa Lasangkuru Patau Mula Jaji Sultan Abdurrahman memerintah. Hal itu terjadi setelah Gowa, Luwu dan Soppeng terlebih dahulu memeluk Islam.

Pada abad 16 dan 17 terjadi persaingan antara kerajaan makasar (Gowa tallo) dengan kerajaan bugis (Bone, Wajo dan Soppeng) membentuk aliansi tellumpoccoe untuk membendung ekspansi gowa Aliansi ini kemudian pecah saat Wajo berpihak ke Gowa dengan alasan Bone dan Soppeng berpihak ke belanda. Saat gowa dikalahkan oleh armada gabungan bone, soppeng, voc dan buton, Arung matowa wajo pada saat itu La Tenri Lai To Sengngeng tidak ingin menandatangani perjanjian Bungayya.

Akibatnya pertempuran dilanjutkan dengan drama pengepungan wajo, tepatnya benteng tosora selama 3 bulan oleh armada gabungan bone dibawah pimpinan Arung Palakka.

Setelah wajo ditaklukkan, tibalah wajo pada titik nadirnya. Banyak orang wajo yang merantau meninggalkan tanah kelahirannya karena tidak sudi dijajah.

Hingga saat datangnya La Maddukkelleng Arung Matowa Wajo, Arung Peneki, Arung Sengkang, Sultan Pasir beliau memerdekakan wajo. Sehingga beliau mendapat gelar (Petta Pamaradekangngi Wajo) tuan yang memerdekaakan wajo.
La Maddukkelleng adalah seorang ksatria dari Wajo, Sulawesi Selatan. Pada masa kecilnya hidup di  linglkungan istana ( Arung Matowa Wajo ).
menginjak masa remaja iya diajak oleh pamannya mengikuti acara sabung ayam di Kerajaan tetangganya Bone. Namun pada waktu itu terjadi ketidak adilan pada penyelenggaraan acara tersebut, dimana orang Wajo merasa dipihak yang teraniaya. La Maddukkelleng tidak menerima hal tersebut dan terjadilah perkelahian. Ia lalu kembali ke Wajo dalam pengejaran orang Bone, lalu lewat Dewan Ade' Pitue, ia memohon izin untuk merantau mencari ilmu.

      Dengan berbekal tiga Ujung ( ujung mulut, ujung tombak, dan ujung kemaluan ). Ia berhasil di Negeri Kalimantan sampai Malaysia, dan merajai Selat Makassar, Hingga Belanda menjulukinya dengan Bajak Laut. Dia menikah dengan putri raja Pasir, dan salah seorang putrinya kawin dengan raja Kutai. Dia bersama pengikutnya terus menerus melawan Belanda. Setelah 10 Tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang benama La Dalle Arung Taa  menghadap Sultan Pasir  dengan membawa surat yang isinya  mengajak kembali,  karena Wajo dalam Ancaman Bone.  La Maddukkelleng akhirnya kembali lagi ke Tana Wajo  dan melalui suatu mufakat Arung Ennengnge  (Dewan Adat) , beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Dalam pemerintahannya berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang, dan terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari diktean Kerajaan Bone, juga berhasil memperluas kekuasaan Kerajaan Wajo.


La Maddukkelleng Ksatria Wajo

      La Maddukkelleng adalah putra dari Arung (Raja) Peneki La Mataesso To Ma'dettia We Tenriangka Arung (Raja) Sengkang, saudara arung Matowa Wajo La Salewangeng To Tenrirua (1713-1737). Karena Itulah La Maddukkelleng sering disebut Arung Singkang dan Arung Peneki. Pada Tahun 1713, Rajaq Bone Lapatau matanna tikka mengundang Arung Matowa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri perayaan Pelubangan Telinga (pemasangan giwang) puterinya I Wale di Cenrana (daerah Kerajaan Bone). La Maddukkelleng ditugaskan pamannya (putra saudara perempuan La Salewangeng) ikut serta dengan tugas memegang tempat sirih Raja. Sebagaimana lasimnya dilakukan disetiap pesta Raja-raja Bugis-Makassar. Diadakanlah ajang perlombaan perburuan rusa (maddengngeng) dan sabung ayam (Mappabbitte). Pada saat pesta sabung ayam tersebut, ayam putra Raja Bone mati dikalahkan Ayam Arung matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang Bone dan mereka berpendapat bahwa petarungan itu sama kuatnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya keributan. Pada saat itu La Maddukkelleng turut serta dalam perkelahian dan mengakibatkan korban dipihak Bone lebih banyak dibanding pihak Wajo. Lontara Sukunna Wajo menyatakan bahwa pada waktu kejadian tersebut terjadi tikam menikan antara orang Wajo dengan Orang Bone di Cenrana, Saat itu La Maddukkelleng baru saja disunat dan belum sembuh lukanya. Melihat kenyataan tersebut (karena mereka berada diwilayah Kerajaan Bone), maka orang-orang Wajo segera melarikan diri Melalui Sungai Walannae.

      Setibanya Arung Matowa wajo La Salewangeng di Tosora, maka datanglah utusan Raja Bone untuk meminta agar La Maddukkelleng diserahkan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Arung Matowa Wajo mengatakan bahwa La Maddukkelleng tidak kembali ke Wajo sejak peristiwa di Cenrana. Utusan Raja Bone itu kembali sekalipun ia yakin bahwa Lamaddukkelleng masih berada di daerah Wajo, namun tidak dapat berbuat banyak karena adanya ikrar antara Bone, Soppeng, dan Wajo di Timurung pada tahun 1582, bahwa tiga kerajaan itu harus saling mempercayai. La Maddukkelleng dan dan meminta restu Arung Matowa wajo dan Dewan Pemerintah Wajo (Arung Bentempola) utuk berlayar meninggalkan daerah wajo. Saat itu bertepatan dengan selesainya pembangunan gedung  tempat penyimpanan harta kekayaan  disebelah timur Masjid Tosora  serta  gedung padi di Tellu Limpo. Anggota Dewan Pemerintah Kerajaan Wajo La Tenri Wija Daeng Situju berpesan agar senantiasa mengingat negeri Wajo selama diperantauan. Lalu ditanya tentang bekal yang akan dibawa, ia menmjawab bahwa ada 3 bekal yang akan dibawa serta yaitu : pertama lemahnya lidahku, kedua tajamnya ujung kerisku, dan yang ketiga ujung kelakilakianku. Dengan disertai pengikut-pengikutnya La Maddukkelleng berangkat dari Peneki dengan menggunakan perahu layar menuju Johor (Malaysia sekarang) Lontara Sukunna Wajo memberitakan bahwa La Maddukkelleng dalam perjalanan bertemu dengan saudaranya bernama Daeng Matekko, seorang saudagar kaya Johor. Hal ini membuktikan bahwa lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah merambah jauh dinegeri orang. Lamaddukkelleng diperkirakan merantau pada masa akhir pemerintahan Raja Bone La Patauk Matanna Tikka Nyilinna Walinonoe, yang merangkap sebagai Datu Soppeng dan Ranreng Tua Wajo, sekitar tahun1714.

Arung Matowa Wajo masih kontroversi, versi pertama pemegang jabatan arung matowa adalah Andi Mangkona Datu Soppeng sebagai arung matowa wajo ke-45 setelah beliau terjadi kelowongan hingga wajo melebur ke Republik versi kedua hampir sama dengan pertama, tapi Ranreng Bettempola sebagai legislatif mengambil alih jabatan arung matowa (jabatan eksekutif) hingga melebur ke republik versi ketiga setelah lowongnya jabatan arung matowa, maka Ranreng Tuwa (H.A. Ninnong) sempat dilantik menjadi pejabat arung matowa dan memerintah selama 40 hari sebelum kedaulatan wajo diserahkan kepada gubernur sulawesi saat itu, bapak Ratulangi demikianlah sejarah wajo hingga melebur ke republik ini hingga kemudian ditetapkan sebagai sebuah kabupaten sampai saat ini.

2 komentar: