Sabtu, 17 November 2012

KETIKA AKU TERBARING NANTI


Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Hari Sabtu ini, seperti juga Sabtu-Sabtu lain beberapa bulan ini. Kau selalu lembur. Hari liburmu praktis tinggal sehari: hari Minggu saja. Seperti anak-anak sekolah saja. ”Nanti pulang jam berapa, Mas?” tanyaku sebelum melepas keberangkatanmu.

“Sekitar jam 3. Banyak kontrak yang harus kuperiksa dan kuparaf. Kontraktor sudah pada
teriak. Maklum tutup tahun. Paling lambat tanggal 12 ini sudah harus kelar,” katamu sambil memakai jaket hitam kesayanganmu.


Kubantu menutup resleting jaketmu, dan kau mencium keningku. Seperti biasa, lembut dan mesra.

“Jangan lupa maemnya,” kataku sebelum akhirnya kulepas kepergianmu hingga di ujung gang dan kau berbelok ke kanan, menghilang dari pandangan mataku.

Mengantarmu berangkat kerja, meski hanya dari halaman rumah sederhana kita, dengan tatapan mata penuh cinta dan doa selalu membuat hatiku berdebar-debar.

Debaran yang masih sama, bahkan jauh lebih menggelora dibanding debar pertama hampir 18 tahun yang lalu saat kau menyentuhku pertama kalinya.

Cintakah? Nafsu? Ah… buat apa memusingkan kepala hanya untuk menjatuhkan pilihan di antara dua kata itu. Toh, mau bilang cinta buktinya aku selalu bernafsu saat berada di dekatmu, bahkan kadang saat kau tinggalkan tugas ke luar kota.

Nafsu? Ah… mengapa juga harus malu? Bukankah perkawinan telah membuat Tuhan menghalalkan, bahkan menjadikan nafsu paling dasar menjadi halal bagi kita? Bahkan bernilai ibadah?

Kau tentu masih ingat,bukan? Bagaimana minggu lalu ketika seharian aku di rumah ibumu? Sepulang dari kantor kau menjemputku. Seperti biasa pula, kucium tanganmu, kubantu kau melepas jaket, dan kutawarkan padamu segelas teh dingin. Kau menatapku hangat.

”Waduh! Kayak manten anyar wae (Seperti penganten baru saja). Pirang ndino se gak ketemu (berapa hari sih gak bertemu)?” goda Bu Lek, adik ipar ibumu yang tiba-tiba berada di belakang kita.

Aku tersipu. Setengah menyesal mengapa tadi tak sempat mengingat kalau di dapur banyak orang. Kebetulan malam hari nanti akan ada selamatan tiga harian meninggalnya saudara kita.

Melihatku tersipu, sambil tersenyum, kau menjawab.

”Yok opo se Bu Lek! (Gimana sih Bu Lek ini?) Lha dulu jauh-jauh tugas aja kubelain nguruskan untuk mutasi hingga berbulan-bulan biar kumpul, masak sekarang gak kusayang-sayang?”

Ah.. perempuan mana yang takkan tersanjung dengan kalimatmu itu? Seandainya saja kau bisa melihat, kebun bunga di dadaku penuh aroma mawar dan melati yang bermekaran.

Begitu pun 4 hari berikutnya, ketika acara 7 harian saudara ipar kita itu. Kau seperti biasa ke kantor hingga usai maghrib baru menyusulku ke rumah ibu.
Seperti biasa, berpisah sehari (tanpa semalam) denganmu terlalu banyak hal yang harus segera dan ingin kuceritakan padamu. Tentang anak-anak kita, tentang teman-teman kantorku, juga perasaanku hari itu. Sambil berdiri berhadap-hadapan, kau lingkarkan satu tangan kananmu ke pinggangku. Kita terlalu asyik bercerita, kita lupa banyak saudara di situ. Hingga aku harus sekali lagi tersipu malu ketika Mbak Ida menggoda kita.

”Aduuuuh yang penganten baru! Lupa sama yang lain..”

Ah… cinta kita ternyata semakin bermekaran.

*****
Hingga belasan tahun menikah, kita selalu mesra, selalu bersetia, saling sayang, dan selalu kompak. Meski, akhir-akhir ini kau selalu memprotes dengan kalimat candaan tentang kondisi kesehatanku yang terus memburuk.

”Hm.. Dik, rasanya kita mulai tak kompak?”

“Maksud, Mas?” tanyaku tak mengerti.

“Ya.. mana bisa kompak, kalau aku darah tinggi dan kau darah rendah?” katamu sambil mengacak-ngacak rambutku.

Lalu kita tertawa bersama seperti biasa.
Alangkah indahnya cinta kita. Alangkah surga rumah tangga kita. Ada engkau yang selalu cinta dan setia untukku, juga aku. Engkau yang selalu bersiap membenahi segala urusan rumah kita mulai bayar air, telpon, biaya sekolah anak-anak, membenahi lampu bila mati, kran air, memanggil tukang bila perlu, mengantar dan menjemput anak-anak ke sekolah, dan semua-muanya kau lakukan penuh cinta.

Tak pernah mengeluh. Hanya, selalu kau minta padaku memijat punggung, pinggang, bahu, kaki bahkan seluruh tubuhmu bila kau lelah. Akupun selalu berusaha tak pernah mengeluh. Aku bahagia karena kau membutuhkan aku, sama seperti aku membutuhkanmu.

Dan, ada anak-anak yang selalu membuat hidup kita berwarna dan bermakna.

Kadang bila kita berjauhan, bahkan saat aku dalam pelukanmu, kubayangkan, apakah aku sanggup hidup tanpamu? Tak ada hal yang kuselesaikan, kuraih, kunikmati dalam hidup ini tanpa bantuanmu, tanpa kehadiranmu.

Membayangkan hal kecil saja, semisal saat listrik korslet atau kran air mati, aku sudah kebingungan. Aku tak pernah belajar. Tak pernah melakukannya. Kau pun melarangku melakukannya.

Katamu, aku lebih baik mendampingi anak-anak belajar atau menulis dan mengerjakan tugas-tugasku yang lain. Ya, kau selalu menyiapkan tanganmu, bahumu, dadamu, bahkan nyawamu untukku.
Kau pun selalu memaafkan kesalahan dan khilafku. Sungguh, dalam hidupku tak kutemui orang setelah ibu-bapakku, yang mencintaiku, dan selalu memaafkanku, selain engkau. Lalu, salahkah aku bila membayangkan takkan sanggup hidup tanpamu? Betapa berartinya kau bagiku.

Kini, ketika kucoba membalik kenyataan itu, ketika kubayangkan tiba-tiba maut menjemputku lebih cepat, dan aku harus kembali pada-Nya meninggalkanmu dan anak-anak, rasanya seperti meluluhlantakkan tulang-tulangku sendiri. Gemetar seluruh tubuhku. Aku menggigil. Airmata yang hampir menetes itu kutelan kembali, kubiarkan menjadi lautan tangis di dadaku. Biar hanya Dia yang mendengar.

Tak sanggup kubayangkan dirimu sendirian, membagi waktu antara bekerja dan membimbing anak-anak. Tak sanggup kubayangkan sepi dan dinginmu malam-malam saat seluruh tubuhmu lelah. Tak sanggup kubayangkan..

”Mas..,” sore kemarin kuberanikan diri memulai percakapan.

“Hm..,” katamu sambil tetap menatap televisi yang menayangkan berita banjir lahar dingin di Magelang.

“Mas.. peluk aku,” pintaku lirih.

Sore itu hanya ada kita di rumah. Anak-anak belum pulang dari mengaji di masjid.

“Kenapa? Sakit?” katamu langsung memelukku hangat.

“Mas…,” suaraku gemetar. Air mata yang kutahan seharian ini merebak juga.

“Kau kenapa?” kau menatapku penuh kekhawatiran.

“Bila.. suatu hari kelak aku harus pergi lebih dulu, carilah penggantiku.”

“Sst! Jangan ngomong itu!”

Kau mencium keningku lembut. Beberapa waktu kita terdiam. Hanya kurasakan nafasmu tak lagi beraturan.

“Gak, Mas. Beneran. Aku ikhlas. Mas harus mencari penggantiku. Kasihan anak-anak. Kasihan Mas gak ada yang ngurusi,” kataku lagi.

Kau memegang erat tanganku.

”Dik.. kita telah hidup bersama berpuluh tahun. Aku bahagia. Sangat bahagia. Tak semudah itu menggantikanmu dengan yang lainnya. Lagi pula aku tak yakin akan mendapatkan istri yang lebih baik darimu. Bisa-bisa aku mendapatkan yang lebih bawel darimu,” katamu mengakhiri jawaban itu dengan bercanda.

Aku tahu. Sangat tahu. Aku bawel. Namun, kau pun menyukainya. Hingga bila tiba-tiba dalam sehari tak ada cerita baru yang kubagikan padamu, kau akan dengan cemas bertanya apakah aku sakit.

”Mas. aku serius! Selain itu, Si cantik kelak harus jadi dokter. Yang lain terserah.”

Kau menatapku dan segera sadar bahwa aku bicara serius.
”Mas, fotolah aku sepuas Mas, selama masih segar tubuhku, masih cantik wajahku, dan masih manis senyumku. Biar kenangan indah ini akan tetap terpatri dalam hatimu.”

Kau diam. Tak menjawab. Adzan ashar terdengar, kau bersegera ambil wudlu lalu kemasjid. Tanpa salam seperti biasanya.

Mungkinkah hatimu sehancur hatiku kini? Kau tentu masih ingat, ketika dalam tangis tersedu kuceritakan betapa bayangan kematian itu terasa makin dekat akhir-akhir ini bagiku. Aku tahu, meski kau katakan bahwa hidup dan mati itu urusan Tuhan, tapi kau pun tak siap, bila ketakutanku menjadi kenyataan.

Seminggu yang lalu, dokter menyuruhku untuk melakukan berbagai tes. Beberapa jenis tes darah untuk melihat kelainan apa yang menyebabkan selalu terjadi perdarahan pada bagian kewanitaanku, setiap kali habis kutunaikan tugasku sebagai seorang istri padamu.

Darah segar yang membuatku begitu ketakutan, tiap kali kau menyentuhku. Syukurlah kau mengerti dan bersabar menerima keadaan itu.

Sambil menunggu hasil tes dari laboratorium, kucoba bertanya kepada beberapa temanku yang kebetulan menjadi dokter atau bidan. Dari mereka aku tahu bahwa perdarahan yang terjadi itu, bisa jadi merupakan pertanda adanya kanker di rahimku.

Dua malam aku hampir tak sanggup memejamkan mata. Ketika kau menanyakan padaku apakah ada yang sedang kupikirkan, dengan air mata berderai kujawab pelan.
“Mas.. perdarahan itu mungkin saja pertanda adanya sel kanker di rahimku.”

Kau terkejut sesaat. Lalu dengan lembut kau memelukku.

“Itu kan baru secara teoritis. Berdoalah semoga tak terjadi apa-apa.”

“Mas.. aku takut.”

Dan seperti biasanya, tanpa banyak kata kau memelukku, mengelus rambutku.

Tetapi, besok pagi, ketika hasil tes laboratorium itu kuterima, masihkah aku sanggup menatap dunia bila ternyata di rahimku benar-benar ditemukan kanker?

Ya Allah.. aku benar-benar ketakutan.

Sepulang dari masjid, kau cium pipiku. Lalu kau rengkuh tubuhku di pangkuanmu.

“Di antara semua hal yang kau katakan tadi, hanya satu yang kusetujui.”

“Apa Mas?”

“Memotretmu dalam berbagai gaya. Nah.. sekarang mandilah, lalu berdandan yang cantik. Biarkan kupenuhi permintaanmu!”

Sekali ini aku tersipu. Aku tahu pikiranmu. Kau suka memotretku, memaksaku ‘nakal’. Kau memang benar-benar anugerah terindah bagiku. Bila benar esok aku harus menerima suratan takdir mengerikan itu, aku tahu, aku memilikimu. Memiliki lelaki terbaik yang akan selalu mendampingiku dalam keadaan apa pun.

- oleh Faradina Izdhihary -

(Diperbarui dari tulisan sebelumnya yang pernah diposting di Kompasiana tahun 2011)

-- Faradina Izdhihary, adalah nama pena Istiqomah, S.Pd, M.Pd, guru SMA Negeri 1 Batu. Selain mengajar, ia juga menulis puisi, cerpen, dan novel --

Wallahu’alam bishshawab, ..
Wabillahi Taufik Wal Hidayah, ...

Salam Terkasih ..
Dari Sahabat Untuk Sahabat ...

... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar