Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Hari ini masih terasa ada lengang menyelimuti
hati. Lalu lalang yang berbaur dalam hiruk pikuk rutinitas dunia seolah tak
mampu menembus batinku. Sebuah keputusan yang kuterima pagi tadi telah meluluh
lantakkan berjuta mimpi yang telah kubangun sejak lama, untuk aku dan keluarga
kecilku.
Dalam remang langit aku langkahkan kaki
Dalam remang langit aku langkahkan kaki
menuju kantor. Tapi semua berbeda,
tak ada sumringah yang terpancar dari teman-temanku, sesuatu yang selalu saja
membuat hari terasa begitu bersemangat, seperti biasanya. Tak ada celoteh dan
canda mereka. Bahkan riuh yang terbingkai dalam senda gurau nyaris sirna tak
membekas. Aku
bertanya dalam hati namun lidahku kelu mengiykan semuanya. Aku
memilih berlalu menuju ruang kerja dengan berjuta pertanyaan menggelayut manja
dalam benak. Sebuah amplop putih bertuliskan “ Kepada : Bapak Bambang Wijaya “
tak salah lagi, itu tertuju padaku.
Bagai langit runtuh
menimpaku tiba-tiba, aku benar-benar tak percaya dengan kenyataan ini. Sebuah
surat Pemutusan Hubungan Kerja alias PHK harus kuterima hari ini. Bahkan tak
cuma aku, tapi hampir seluruh karyawan bernasib sama. Perusahaan tempatku
mengais rejeki mengalami kebangkrutan bahkan sebagian besar sahamnya telah
mereka jual dan menjadi milik orang lain, tapi mereka gagal memperjuangkan
nasib kami. Nasib kami dan anak istri kami yang kini sudah sirna. Sebuah
perintah untuk segera mengosongkan tempat ini membuatku terhenyak. Kukemasi
satu persatu barang-barangku, kumasukkan kedalam tas berukuran besar. Mataku tiba-tiba
tertuju pada sebuah benda yang selalu tegak diatas meja kerja, aku terbelalak.
Ya, sebuah replika rumah dari kardus yang dihadiahkan oleh Rizky, anak semata
wayangku sebagai hasil dari prakarya terbaiknya di sekolah beberapa waktu lalu.
“Ayah, ini rumahku. Dapat nilai tertinggi lho dari Ibu guru “ ucapnya
“Apa semua teman kamu juga membuat rumah seperti ini, Nak ?” tanyaku sambil menyeruput kopi buatan istriku
“Nggak, Yah. Ada yang buat mobil ada juga yang buat pistol. Macam-macam pokoknya Yah“
“Terus kenapa Rizky membuat replika rumah ?“
“Karena aku ingin punya rumah yang bagus seperti teman-teman. Rumah yang nggak bocor kalau hujan kayak di rumah kita”
“Ayah, ini rumahku. Dapat nilai tertinggi lho dari Ibu guru “ ucapnya
“Apa semua teman kamu juga membuat rumah seperti ini, Nak ?” tanyaku sambil menyeruput kopi buatan istriku
“Nggak, Yah. Ada yang buat mobil ada juga yang buat pistol. Macam-macam pokoknya Yah“
“Terus kenapa Rizky membuat replika rumah ?“
“Karena aku ingin punya rumah yang bagus seperti teman-teman. Rumah yang nggak bocor kalau hujan kayak di rumah kita”
Ucapan polos dari seorang
anak kecil berusia sembilan tahun itu telah menyadarkanku bahwa aku belum bisa
memberikan kebahagiaan untuk anak dan istriku. Karenanya aku terus membanting
tulang siang dan malam demi rumah kardus ini. Sengaja kuletakkan di atas meja
kerja agar aku punya semangat untuk mencapainya dan tidak terlena oleh
kepuasaan sesaat atas keberhasilan yang hanya akan membuat manusia terjerembab
dalam kehancuran. Tapi kini, ada yang sesak di dadaku. Aku takkan bisa
mewujudkan mimpi Rizky. Maafkan Ayah, Nak.
***
Gontai kulangkahkan kaki menuju halte. Mimpi hari ini sudah berakhir. Semangatku entah telah lenyap kemana, tak hendak aku mencarinya. Tiba-tiba ada keengganan dalam hatiku untuk kembali pulang, aku belum sanggup mengatakan keterpurukan ini pada istriku. Aku belum punya jawaban untuk menatap bening matanya. Aku juga belum punya sanggahan atas tanya yang dialamatkannya dalam senyum yang senantiasa tulus tanpa sebuah penuntutuan.
”Semir sepatu, Om ?”
Suara itu agak cempreng kudengar, mengejutkanku dari lamunan. Aku menggeleng pelan. Selang tiga puluh menit sudah kuhabiskan waktu di halte itu. Sebuah tangan terulur dengan sebuah roti. Aku tergoda, maklum dari pagi lambungku belum disinggahi makanan apapun juga. Tapi siapa dia ? kutengadahkan wajah.
”Silakan dimakan, Om”
***
Gontai kulangkahkan kaki menuju halte. Mimpi hari ini sudah berakhir. Semangatku entah telah lenyap kemana, tak hendak aku mencarinya. Tiba-tiba ada keengganan dalam hatiku untuk kembali pulang, aku belum sanggup mengatakan keterpurukan ini pada istriku. Aku belum punya jawaban untuk menatap bening matanya. Aku juga belum punya sanggahan atas tanya yang dialamatkannya dalam senyum yang senantiasa tulus tanpa sebuah penuntutuan.
”Semir sepatu, Om ?”
Suara itu agak cempreng kudengar, mengejutkanku dari lamunan. Aku menggeleng pelan. Selang tiga puluh menit sudah kuhabiskan waktu di halte itu. Sebuah tangan terulur dengan sebuah roti. Aku tergoda, maklum dari pagi lambungku belum disinggahi makanan apapun juga. Tapi siapa dia ? kutengadahkan wajah.
”Silakan dimakan, Om”
Aku menggeleng pelan.
Menatap bocah kecil dengan baju sedikit lusuh. Bukankah dia tukang semir tadi.
Iba aku menatapnya, mana mungkin aku mengambil roti yang mungkin menjadi bekal
melepas lapar di terik kala itu.
”Nggak usah, Dik. Untuk makan siang kamu saja”
”Nggak apa-apa, Om. Wajah Om pucat, nanti sakit. Om makan aja roti ini”
Perutku memang melilit sedari tadi, walaupun coba kutenggelamkan dalam perih kenyataan yang kuhadapi.kuulurkan tangan menerima roti darinya, sambil tersenyum kulumat perlahan.
”Om lagi sedih ya ? Kayaknya bingung. Ada apa Om ?”
”Om baru aja dipecat dari pekerjaan. Mau pulang ke rumah tapi kasihan pada anak dan istri Om. Kasihan mereka harus makan apa besok”
”Nggak usah sedih Om, aku saja nggak tahu apa yang mau dimakan tapi aku nggak protes”
”Kenapa ? nggak protes pada Allah ?”
”Untuk apa, yang penting bekerja saja, walaupun saya nggak bisa makan enak seperti orang-orang di restaurant itu tapi bisa makan saja saya sudah senang, Om”
”Nggak usah, Dik. Untuk makan siang kamu saja”
”Nggak apa-apa, Om. Wajah Om pucat, nanti sakit. Om makan aja roti ini”
Perutku memang melilit sedari tadi, walaupun coba kutenggelamkan dalam perih kenyataan yang kuhadapi.kuulurkan tangan menerima roti darinya, sambil tersenyum kulumat perlahan.
”Om lagi sedih ya ? Kayaknya bingung. Ada apa Om ?”
”Om baru aja dipecat dari pekerjaan. Mau pulang ke rumah tapi kasihan pada anak dan istri Om. Kasihan mereka harus makan apa besok”
”Nggak usah sedih Om, aku saja nggak tahu apa yang mau dimakan tapi aku nggak protes”
”Kenapa ? nggak protes pada Allah ?”
”Untuk apa, yang penting bekerja saja, walaupun saya nggak bisa makan enak seperti orang-orang di restaurant itu tapi bisa makan saja saya sudah senang, Om”
Gusar, itu yang menjeratku
kini. Bayangan beberapa teman dengan pekerjaan yng layak tiba-tiba membuatku
iri akan kenyataan. Kenapa mereka harus terlahir dari keluarga kaya bahkan bisa
leluasa menikmati hidup. Kenapa aku harus selalu kekurangan sedari kecil,
bahkan keluarga kecil yang ingin kulabuhkanpun tak bisa kuhadiahi sebuah rumah
cinta.
”Kalau Om mau, ikut aku ke rumah. Nanti kalau Om sudah tidak sedih lagi, Om bisa pulang”
Aku mengangguk, lagipula tak ada yang bisa kudapatkan juga berlama-lama di halte sini. Yang ada malah fikiran macam-macam yang terus saja menggiring nalarku pada ketakrelaan akan nyata yang kuhadapi kini.
Jalan menuju rumah Sandi, begitu aku mengeja namanya, cukup berliku. Melewati hingar kota dalam debu polusi disertai sedikit jalan terjal dan berliku yang membuat nafasku lumayan tersengal. Mungkin ini akibat dari kurang berolah raga. Jauh dari kebisingan kota kudapati sebuah rumah yang dekat dengan bibir sungai. Kumuh, itu kesanku pertama. Sebuah rumah yang berdiri tak cukup kokoh bahkan ada tempelan kardus disana sini untuk menghindari penghuninya dari sengatan udara dingin di malam hari. Aku bergidik, Rabb … rumah kardus yang berbeda. Rumah kardus Rizky dan rumah kardus Sandi tapi ada yang menyatukan keduanya, cinta. Ya, sentuhan cinta di ujungnya yang membuat rumah kardus mereka bersatu dalam mimpi.
”Kalau Om mau, ikut aku ke rumah. Nanti kalau Om sudah tidak sedih lagi, Om bisa pulang”
Aku mengangguk, lagipula tak ada yang bisa kudapatkan juga berlama-lama di halte sini. Yang ada malah fikiran macam-macam yang terus saja menggiring nalarku pada ketakrelaan akan nyata yang kuhadapi kini.
Jalan menuju rumah Sandi, begitu aku mengeja namanya, cukup berliku. Melewati hingar kota dalam debu polusi disertai sedikit jalan terjal dan berliku yang membuat nafasku lumayan tersengal. Mungkin ini akibat dari kurang berolah raga. Jauh dari kebisingan kota kudapati sebuah rumah yang dekat dengan bibir sungai. Kumuh, itu kesanku pertama. Sebuah rumah yang berdiri tak cukup kokoh bahkan ada tempelan kardus disana sini untuk menghindari penghuninya dari sengatan udara dingin di malam hari. Aku bergidik, Rabb … rumah kardus yang berbeda. Rumah kardus Rizky dan rumah kardus Sandi tapi ada yang menyatukan keduanya, cinta. Ya, sentuhan cinta di ujungnya yang membuat rumah kardus mereka bersatu dalam mimpi.
Memasuki rumah Sandi, aku terpaksa membungkukkan badan. Di dalam, seorang ibu yang sudah renta menyambutku dengan senyum. Sinar keramahan itu begitu membuatku nyaman. Aku jadi teringat dengan Ibu di kampung, telah lama aku tak mencium tangannya yang mulia.
”Ayo, Nak. Silakan duduk. Maaf rumah kami hanya begini”
”Nggak apa-apa, Bu. Saya senang bisa mampir ke rumah Sandi”
Beberapa cerita tak sengaja mengalir dari lembut lisan Ibu Sandi. Aku terenyuh mendengarnya.
”Sandi adalah anak saya satu-satunya. Ayahnya sudah meninggal sejak dia dalam kandungan. Tubuh saya sudah sangat tua, nak. Nggak kuat bekerja. Jadi Sandi yang mengambil alih tugas ini. Kadang saya juga kasihan melihat dia nggak bisa bermain seperti anak-anak yang lain”
Sandi, penderitaannya sangat perih. Bahkan PHK dan pemecatan yang aku alami hari ini, yang kufikir telah menghancurkan mimpiku ternyata tak ada seujung kukunya. Dia bisa setegar itu menghadapi kenyataan, kenapa aku tidak. Dia bisa tetap tersenyum sekalipun tak tahu esok akan seperti apa, lalu kenapa aku harus menangisi nasibku. Rabb, hari ini Kau hadiahkan aku sebuah pembelajaran yang mungkin takkan pernah kudapati di tempat lain.
”Kamu nggak sekolah, San ?” tanyaku
”Dulu aku sekolah, Om. Tapi
cuma sampai kelas dua saja. Aku nggak punya biaya untuk sekolah lagi. Buat
makan aku dan Ibu saja aku harus bekerja sampai malam. Eh, tapi aku selalu
belajar lho Om. Dari koran-koran bekas atau buku-buku yang aku dapatkan dari
hasil memulung. Aku memang belum bisa sekolah tapi suatu saat nanti aku ingin
duduk di kelas itu lagi”
Kuakhiri obrolan kala hari telah menjelang sore. Aku senang bisa singgah pada rumah kardus yang penuh cinta. Bukan hanya tentang cinta anak dan Ibu namun cinta Sandi pada mimpi dan cita-citanya. Sebuah tujuan hidup yang tak goyah oleh pahitnya kenyataan.
***
Pagi itu mentari masih cerah menyinari rumahku. Aku beranikan diri menceritakan segala yang kualami pada istriku. Aku sudah siap dengan segala konsekuensi yang akan aku terima, termasuk makian darinya.
“Bu, aku kena PHK dari kantor”
Hening, tak ada suara. Aku tertunduk, sebuah sentuhan menghangatkan punggung tanganku. Kulirik pemilik jemari indah itu.
”Syukuri saja, Yah. Mungkin ini adalah yang terbaik yang diberikan Allah pada kita. Karena Dia sedang menguji kita dengan kesedihan, insyaallah kita bisa melaluinya. Yang penting sekarang Ayah berusaha untuk mencari pekerjaan lagi dan berdoa padaNya. Semoga Dia memberikan Ayah pekerjaan yang dapat mendatangkan ridhoNya”
Kuakhiri obrolan kala hari telah menjelang sore. Aku senang bisa singgah pada rumah kardus yang penuh cinta. Bukan hanya tentang cinta anak dan Ibu namun cinta Sandi pada mimpi dan cita-citanya. Sebuah tujuan hidup yang tak goyah oleh pahitnya kenyataan.
***
Pagi itu mentari masih cerah menyinari rumahku. Aku beranikan diri menceritakan segala yang kualami pada istriku. Aku sudah siap dengan segala konsekuensi yang akan aku terima, termasuk makian darinya.
“Bu, aku kena PHK dari kantor”
Hening, tak ada suara. Aku tertunduk, sebuah sentuhan menghangatkan punggung tanganku. Kulirik pemilik jemari indah itu.
”Syukuri saja, Yah. Mungkin ini adalah yang terbaik yang diberikan Allah pada kita. Karena Dia sedang menguji kita dengan kesedihan, insyaallah kita bisa melaluinya. Yang penting sekarang Ayah berusaha untuk mencari pekerjaan lagi dan berdoa padaNya. Semoga Dia memberikan Ayah pekerjaan yang dapat mendatangkan ridhoNya”
Aku tersenyum lirih.
Beruntung sekali aku mendapatkan seorang istri dengan pemahaman agama yang
luas. Sehingga hidupku tak hanya dipenuhi oleh tuntutan.
”Ayah, rumah Rizky sudah jadi belum ? Ini Rizky buat lagi untuk Ayah. Yang ini lebih bagus dari yang kemarin, nanti Ayah bisa milih yang mana aja ”
Kuterima sebuah replika rumah dari kardus yang dihadiahkan Rizky. Kini, tak ada kesedihan memandangnya tapi justru aku semakin bersemangat untuk mewujudkannya. Dua replika rumah kardus menemani asa panjangku, satu untuk anak tercintaku, Rizky dan satu lagi akan kupersembahkan untuk Sandi, pahlawan hatiku.
”Sore ini Ayah akan mengajak kalian jalan-jalan”
”Asyik …. Asyik … ” teriak Rizky
Istriku memandang heran.
”Bukannya Ayah lagi kesusahan, kok masih ngajak kita jalan-jalan sih ?”
”Tapi yang ini beda, Bu. Jalan-jalannya ke tempat yang indah banget ”
”Ayah, rumah Rizky sudah jadi belum ? Ini Rizky buat lagi untuk Ayah. Yang ini lebih bagus dari yang kemarin, nanti Ayah bisa milih yang mana aja ”
Kuterima sebuah replika rumah dari kardus yang dihadiahkan Rizky. Kini, tak ada kesedihan memandangnya tapi justru aku semakin bersemangat untuk mewujudkannya. Dua replika rumah kardus menemani asa panjangku, satu untuk anak tercintaku, Rizky dan satu lagi akan kupersembahkan untuk Sandi, pahlawan hatiku.
”Sore ini Ayah akan mengajak kalian jalan-jalan”
”Asyik …. Asyik … ” teriak Rizky
Istriku memandang heran.
”Bukannya Ayah lagi kesusahan, kok masih ngajak kita jalan-jalan sih ?”
”Tapi yang ini beda, Bu. Jalan-jalannya ke tempat yang indah banget ”
Aku tersenyum sambil
menerawang. Akan kuajak istri adan anakku ke rumah Sandi, rumah kardus yang
kutemui di ujung cinta. Sebuah rumah yang kudapati dalam pencarian akan hakikat
kenyataan hidup. Pada rumah kardus sesungguhnya, hendak kuajarkan pada anakku
bahwa hidup tak selamanya selayak yang kita mau. Ada kekurangan pada sebagian
orang yang membuat kita akan lebih bersyukur dengan apa yang kita punya. Pada
rumah kardus yang sesungguhnya pula, ada cinta yang tak bernilai dan takkan
terganti oleh apapun, pada rumah kardus itu juga, mimpi masih berhak tercipta
sekalipun hidup menghimpitnya dalam keterbatasan.
***
::: Bahkan dalam keterbatasanpun, kita masih bisa berbagi :::
Sebuah inspirasi pada perjumpaan senja di simpang lampu merah. Mereka ada di sekitar kita. Sesungguhnya setiap hati telah Tuhan titipkan kepedulian. Ada yang mengambilnya tapi ada pula yang melepaskannya. Lalu kita ? Saatnya bertanya pada hati.
*****
Semoga kita dapat mengambil pengetahuan yang bermanfaat dan bernilai ibadah ..Wabillahi Taufik Wal Hidayah, ...
Salam Terkasih ..
Dari Sahabat Untuk Sahabat ...
***
::: Bahkan dalam keterbatasanpun, kita masih bisa berbagi :::
Sebuah inspirasi pada perjumpaan senja di simpang lampu merah. Mereka ada di sekitar kita. Sesungguhnya setiap hati telah Tuhan titipkan kepedulian. Ada yang mengambilnya tapi ada pula yang melepaskannya. Lalu kita ? Saatnya bertanya pada hati.
*****
Semoga kita dapat mengambil pengetahuan yang bermanfaat dan bernilai ibadah ..Wabillahi Taufik Wal Hidayah, ...
Salam Terkasih ..
Dari Sahabat Untuk Sahabat ...
ceritanya bermakna banget ini..
BalasHapus, saya seorang pelajar jadi semangat setelah membacanya..