Sabtu, 17 November 2012

Jangan Sia-siakan Anakmu, Ibu


 ...
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... “Kasih Ibu sepanjang hayat, kasih anak sepanjang jalan”. Demikian pepatah yang menggambarkan kasih sayang Ibu yang tak lekang oleh waktu kepada anaknya. Namun rupanya pe
patah itu tak berlaku bagi seorang Ibu, yang belum sempat saya ketahui namanya.

Sore itu, hujan turun cukup deras di tanah Jogja. Saya tengah dalam perjalanan untuk suatu keperluan. Tepat di bawah jembatan layang, saya melihat seorang anak berselimutkan kain spanduk dengan ditemani Ibu, kakak, dan adiknya. Menyadari mereka dalam kesusahan, saya belokkan sepeda motor saya menghampiri mereka. Anak perempuan berusia 6 tahun yang kemudian saya ketahui bernama Yanti tampak begitu pucat, tubuhnya menggigil kedinginan
.

Dengan cuaca dingin setelah beberapa hari hujan, tidur hanya beralaskan sepotong kardus dan berselimutkan kain spanduk tentu membuatnya sangat kedinginan. Selintas saya teringat pada kasur empuk dan selimut tebal yang hangat di kost, ah…betapa lebih beruntungnya saya…
“Sudah tujuh hari sakit, Mbak. Batuk-batuk, muntah, buang air besar, batuk sama buang air besarnya keluar darah…”. Ujar sang ibu. Saya coba memeriksa kondisi Yanti, badannya sangat panas, dia terlihat begitu menderita. Yanti harus mendapatkan pertolongan Dokter!

Di ruang UGD Yanti menangis ketika jarum infus menusuk pergelangan tangannya yang mungil. Yanti harus dirawat beberapa hari di rumah sakit. Kakaknya, Nugroho berusia 10 tahun dan adiknya, Yanto yang berusia 3 tahun saya titipkan pada seorang teman, karena rumah sakit tidak memperbolehkan anak-anak ikut berjaga di rumah sakit.

Selama berjaga di rumah sakit sang ibu menceritakan kisah hidupnya. Dia menikah dengan seorang laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Suaminya kasar dan tak pernah di rumah apalagi memberi uang belanja untuk keperluan sehari-hari. Kalaupun pulang, bukan uang yang diberikan tetapi justru meminta uang pada isterinya. Tak tahan dengan kelakuan sang suami, sang ibu membawa ketiga anaknya hidup di jalanan. Tidur berpindah-pindah, di bawah jembatan, di pasar atau di emperan toko. Untuk mengisi perut, ia menjadikan anak-anaknya pengemis.

Menurut keterangan para ibu yang anaknya dirawat di bangsal yang sama, sang ibu kerap terlihat di perempatan jalan menunggui anaknya mengemis. Sementara anak-anaknya berpanas-panasan, berhujan-hujanan, bertaruh nyawa di tengah padatnya arus kendaraan, sang ibu bersantai-santai dengan berpayung ria menunggu anak-anaknya menyetor receh yang mereka dapatkan.
Cerita yang kerap saya dengar dan lihat dari kehidupan orang-orang yang hidup di jalanan. Pada akhirnya, anak-anak yang menjadi korban. Di jalanan, anak-anak lebih dapat menarik simpati para pemakai jalan. Uang 30 ribu, 50 ribu, bahkan lebih dapat diraup dalam waktu singkat. Berbeda halnya dengan orang dewasa. Karena itulah para orang tua yang putus asa dan berpikiran sempit menggunakan anak-anaknya untuk mencari rejeki. Walaupun ada juga orang tua yang pada awalnya tidak mengizinkan, tapi di tengah-tengah, dengan alasan himpitan ekonomi, dibiarkannya juga anak-anak mencari penghidupan di jalanan.

Setelah tujuh hari, Yanti dinyatakan sehat dari sakit Bronchitis dan muntaber yang dideritanya. Beruntung, pihak rumah sakit membebaskan biaya perawatan. Keceriaan kanak-kanak menghiasi wajah Yanti. Siapa yang menyangka, bocah manis dan lucu itu bersama dua saudaranya dengan tega oleh sang ibu ditawarkan kepada para ibu di rumah sakit untuk diambil sebagai anak. “Sudah capek saya ngurus anak-anak ini” kata sang ibu.

Niat sang ibu untuk meninggalkan anak-anaknya akhirnya diwujudkan dengan cara yang dramatis. Ketika itu, begitu Yanti keluar dari rumah sakit, saya membawa Yanti, Ibu, kakak dan adiknya ke sebuah Panti Sosial. Itulah tempat yang menurut saya dapat menjadi solusi. Dari hasil survey saya sebelumnya, Panti itu memberikan satu kamar untuk tiap keluarga, makan gratis, uang saku, dan pelatihan keterampilan agar kelak dapat mandiri. Dan yang terpenting Yanti tidak harus tidur di jalanan yang ketika siang penuh asap kendaraan, dan ketika malam diselimuti udara dingin, yang pastinya itu semua akan lebih membahayakan kesehatan Yanti yang telah terjangkit bronchitis.
Namun begitu tiba di depan Panti, sang ibu menolak untuk tinggal seperti kesepakatan kami. Dengan menggendong anaknya yang paling kecil, sang ibu berlari dan kemudian menumpangi becak yang kebetulan lewat. Saya mencoba mengejar dan mencegahnya.

“Jangan pergi, Bu. Kalau Ibu gak mau tinggal, kita bisa cari tempat yang lain. Tapi ibu gak boleh ninggalin anak-anak ibu. Yanti baru sembuh, dia butuh ibu!”.

“Saya gak mau ngurus, Mbak. Terserah Mbak mau apakan Nugroho sama Yanti”. Jawab sang ibu acuh tak acuh. Dan sang ibu pun berlalu meninggalkan kedua anaknya.Dada saya terasa sesak, air mata menetes. Peristiwa yang selama ini hanya saya lihat di sinetron, terjadi di depan mata saya…

Yanti dan kakaknya saya serahkan ke Panti Asuhan. Semakin hari kesehatan Yanti semakin membaik. Dia dan kakaknya dirawat dengan baik di sana. Mereka selalu terlihat ceria dan bahagia tiap kali saya menjenguknya. Dan yang terpenting, mereka belajar mengaji dan sholat di Panti Asuhan itu. Hal ini tentu sangat membahagiakan saya karena sebelumnya, Yanti dan Nugroho mengaku non muslim. Yanti, Nugroho dan adiknya sering bermain di halaman gereja bersama para biarawati. Pantas saja mereka memanggil saya “Suster” di awal pertemuan kami. Rupanya pakaian biarawati mereka anggap sama dengan jilbab lebar yang saya pakai.

Waktu pun berlalu. Nugroho telah bersekolah. Yanti sudah tidak sabar menunggu tahun depan untuk bersekolah. Masa depan cerah menanti mereka. Namun suatu hari, tanpa sepengetahuan pengasuh Panti Asuhan, sang ibu datang dan membawa mereka entah ke mana…

Saya baru melihat mereka kembali berbulan-bulan kemudian, di perempatan jalan, dengan penampilan kumuh tak terurus. Yanti, Nugroho dan adiknya, tengah tertawa ceria bersama sang ibu. Tak peduli padatnya lalu lintas, tak peduli teriknya matahari, tak peduli bahwa sang ibu pernah meninggalkan mereka begitu saja…

Sungguh, melihat tawa ceria anak-anak itu di tengah pahitnya hidup yang mereka lalui, saya tak habis mengerti, mengapa sang ibu tega meninggalkan mereka begitu saja…mengapa sang ibu datang kembali di saat masa depan cerah terbuka bagi mereka… mengapa sang ibu begitu tega meraup rejeki dari tangan-tangan mungil mereka yang menengadah…saya hanya dapat berdo’a semoga tidak ada lagi anak-anak bernasib sama seperti Yanti dan kedua saudaranya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar